Rabu, 24 Desember 2014

Selamat datang di malam natal!

Saya, Sanya Dinda S, pemilik blog sanyadindas.tumblr.com (tolong kalau sempat dikunjungi ;) ) dipaksa Ayuk untuk menulis sesuatu disini. kemudian dia protes, katanya ini bukan pemaksaan. Emboh, Yuk. Sak karepmu. 

Di malam natal ini, saya hanya ingin bilang, selamat kepada yang telah membiasakan diri dengan hilang dan kehilangan.

Selasa, 16 Desember 2014



            Assalamu’alaikum anak Mama yang sedang berjuang di Yogya..
            10 tahun yang lalu, anak Mama yang satu ini masih dikucir dua, rok merahnya juga kedodoran, kaus kaki putihnya terlalu panjang. Tak terhitung berapa kali setiap pulang sekolah menangis, merajuk kalau teman cowoknya ada yang nakal, lalu merengek seharian, Mama kamu minta memarahinya habis-habisan. Haha. Mama geli, sayang, kalau mengingatnya.
          

Kini, kamu tak lagi gadis kecil Mama yang suka nyanyi-nyanyi tak jelas di kamar mandi seperti dulu. Kamu telah menjelma menjadi gadis pandai yang sedang menyelesaikan studi di salah satu kampus terbaik Indonesia, Universitas Gadjah Mada. Adakah kebahagiaan Mama selain itu, Nak? Ayahmu disana juga tersenyum tentunya.
            Mama akan dengan senang hati bekerja seharian, memeras peluh habis-habisan, untuk anak-anak Mama tersayang. Belajarlah dengan tekun disana, nak. Biarpun Mama hanya punya kesempatan memandangi kota-kota dunia lewat peta-peta, tapi kamu harus bisa menjejakkan kakimu disana. Biarpun Mama hanya bisa berkata di depan anak-anaknya, tapi kalimatmu kelak harus bisa melegenda di mata dunia. Terbanglah setinggi-tingginya, ak. Doa Mama dan Ayahmu tak pernah lepas dari hidup dan langkahmu. Semoga Allah senantiasa memberkahi anak-anak Mama. Wassalamu’alaikum, sayang..

Salam teramat rindu,
                                                                                                                        Mama



            Assalamu’alaikum anak Mama yang sedang berjuang di Yogya..
            10 tahun yang lalu, anak Mama yang satu ini masih dikucir dua, rok merahnya juga kedodoran, kaus kaki putihnya terlalu panjang. Tak terhitung berapa kali setiap pulang sekolah menangis, merajuk kalau teman cowoknya ada yang nakal, lalu merengek seharian, Mama kamu minta memarahinya habis-habisan. Haha. Mama geli, sayang, kalau mengingatnya.
          

Kini, kamu tak lagi gadis kecil Mama yang suka nyanyi-nyanyi tak jelas di kamar mandi seperti dulu. Kamu telah menjelma menjadi gadis pandai yang sedang menyelesaikan studi di salah satu kampus terbaik Indonesia, Universitas Gadjah Mada. Adakah kebahagiaan Mama selain itu, Nak? Ayahmu disana juga tersenyum tentunya.
            Mama akan dengan senang hati bekerja seharian, memeras peluh habis-habisan, untuk anak-anak Mama tersayang. Belajarlah dengan tekun disana, nak. Biarpun Mama hanya punya kesempatan memandangi kota-kota dunia lewat peta-peta, tapi kamu harus bisa menjejakkan kakimu disana. Biarpun Mama hanya bisa berkata di depan anak-anaknya, tapi kalimatmu kelak harus bisa melegenda di mata dunia. Terbanglah setinggi-tingginya, ak. Doa Mama dan Ayahmu tak pernah lepas dari hidup dan langkahmu. Semoga Allah senantiasa memberkahi anak-anak Mama. Wassalamu’alaikum, sayang..

Salam teramat rindu,
                                                                                                                        Mama

Kamis, 04 Desember 2014

Mari kita berkabar tentang Indonesia :)



RAGAM BUDAYA NUSANTARA

            Budaya atau kebudayaan berasal dari bahasa Sanskerta yaitu buddhayah, yang merupakan bentuk jamak dari buddhi (budi atau akal) diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan budi dan akal manusia. Dari pengertian tersebut, dapat dikatakan bahwa ragam budaya nusantara merupakan hasil olah cipta budi dan akal seluruh masyarakat Indonesia. Hal itu berarti, budaya nusantara yang sangat beranekaragam merupakan hasil dari rangkaian seluruh budaya-budaya daerah dari Sabang sampai Merauke. Sedangkan pengertian dari budaya daerah adalah suatu kebiasaan dalam wilayah atau daerah tertentu yang diwariskan secara turun temurun oleh generasi terdahulu pada generasi berikutnya pada ruang lingkup daerah tersebut.
            Banyak sekali budaya-budaya daerah yang terus berkembang hingga saat ini. Misalnya, kebudayaan ‘dandhangan’ dari Kudus dalam rangka penyambutan datangnya hari raya idul fitri, budaya ngaben dari Bali sebagai tanda penghormatan kepada orang yang sudah meninggal, dan sebagainya. Tidak hanya budaya atau kebiasaan daerah saja yang memperkaya ragam budaya nusantara, akan tetapi, keberadaan hasil cipta oleh akal budi masyarakat daerah seperti tembang, tarian, maupun yang berupa benda, misalnya, batik, tenunan, dan lain sebagainya, juga sangat mempengaruhi perkembangan kebudayaan nusantara.  
            Budaya-budaya daerah di Indonesia masih terus berkembang meski kurang mendapat perhatian. Sebenarnya, antusiasme masyarakat dalam mempertahankan kebudayaan sudah dapat diacungi jempol. Akan tetapi, kinerja yang terjalin antara masyarakat dan siapa yang seharusnya berdiri pada garis terdepan dalam penjagaan budaya-budaya nusantara masih belum dapat dipertanggungjawabkan. Hal itu dapat dibuktikan dari masih rancunya persoalan-persoalan hak cipta mengenai kebudayaan-kebudayaan nusantara. Sebenarnya, siapa yang mempunyai peran besar dalam permasalahan tersebut? Tentu saja, perdebatan mengenai ketidakjelasan penanggungjawab kebudayaan nusantara  akan menjadi persoalan baru jika terus dipersilisihkan.
            Akibat dari kelalaian penjagaan kebudayaan tersebut, muncul permasalahan-permasalahan baru yang merugikan negara Indonesia. Diantaranya adalah  tidak sedikit budaya-budaya nusantara yang diakui oleh negara lain. Misalnya saja, Malaysia yang menganggap batik adalah bagian dari hasil budayanya. Hal itu tentu saja akan menjadi perdebatan yang tidak akan ada habisnya karena dua negara tersebut merasa saling memiliki. Tidak bisa dipungkiri, kejadian semacam itu merupakan akibat fatal dari kelalaian semua pihak yang mempunyai sangkutan dengan kebudayaan nusantara.
            Tentu tidak serta merta masyarakat dapat menunjuk siapa yang salah. Masalah tidak dapat diselesaikan dengan permasalahan baru. Untuk itu, sikap waspada dan bijaksana sangat dibutuhkan untuk menyelesaikan persoalan tersebut. Banyak sekali sikap yang dapat diterapkan, misalnya, memperjuangkan hak cipta untuk kebudayaan-kebudayaan tersebut. Tentu saja, tindakan itu jauh lebih berguna daripada terus memperdebatkan tentang siapa yang lebih berhak atas suatu kebudayaan. Masyarakat  Indonesia dengan semangat mempertahankan dan menjaga kebudayaan agar terus menjadi warisan nusantara seutuhnya tanpa meninggalkan peran sebagai manusia global akan menjadikan negara Indonesia sebagai negara yang kaya oleh budaya.


Selasa, 02 Desember 2014

Aku masih bertanya-tanya tentang rindu. Sesungguhnya rindu ini milik siapa? Dia, Tuhan, atau semesta?

Aku sempat bahagia di tanggal itu, tapi sekarang.. Sungguh, rindu ini remuk kembali



Yogyakarta.. Jumat, 7 November 2014
            Terkadang, kita terlalu jauh berpikir tentang seseorang, padahal tak sedikitpun orang itu seperti apa yang kita bayangkan. Marah itu wajar. Tetapi jika perasaan marah tersebut membuat kita dengan mudahnya menjatuhkan image orang lain di pikiran kita, saya rasa, itu hal yang tak pernah pantas dilakukan. Karena pada kenyataannya, tanpa kita ketahui orang itu telah dengan senang hati jauh lebih mengorbankan dirinya dibanding kita.
            Hubungan itu bukan sekedar dibangun, timbul masalah, klimaks, anti klimaks, penyelesaian, lalu selesai. Bukan. Bukan.
            Hubungan itu adalah kuat dan tidaknya kita bertahan dalam keadaan yang sangat tak memungkinkan sekalipun.
            Sampai saat ini, aku masih saja tak pernah tau kenapa Tuhan mempertemukanku dengannya. Mempertemukan kami dalam situasi dan kondisi yang sampai saat ini sangat indah tuk dikenang tentunya. Dia. Orang yang begitu menyebalkan, tetapi Tuhan membungkusnya dalam kemasan yang  sungguh apik. Juga tak butuh waktu lama, dengan mudahnya hatiku digondol lalu dibawanya jauh entah kemana.
            Jarang sekali aku menyebut namanya secara gamblang di dalam tulisan-tulisanku. Padahal, hanya karena mengingatnyalah aku berselera menulis. Mengingat suaranya yang lembut, matanya yang teduh, dan sentuhannya yang hangat. Tapi sial. Dia pembohong!
            Semenjak aku tau semuanya, kira-kira 10 bulan yang lalu, aku begitu muak. Bahkan disepanjang siang dan malam, aku selalu mengutuki namanya. Setiap saat, kapan saja aku merengek kepada Tuhan agar Dia membalaskan sakit hatiku. Aku benci. Benci setengah mati.
            Tetapi, seiring berjalannya waktu, aku mulai melupakannya. Melupakan segala yang pernah kami lalui bersama. Melupakan semua kenangan yang sebenarnya teramat menyenangkan. Tetapi, dalam masa-masa melupakan itu sesungguhnya aku tak pernah berusaha lupa seutuhnya. Hati dan persaanku di sisi yang lain enggan menghapus kenangan-kenangan kami. Mereka memilih membungkus dengan rapi, lalu menyimpannya rapat-rapat.
            Sampai pada titik dimana segenap jiwa, hati, dan perasaanku telah menyatu untuk benar-benar melupakannya.
            Berjuang melupakan dalam waktu 10 bulan itu bukan periode yang singkat. Selama itu pula kami tak pernah saling bertegur sapa. Selama itu pula kami bergulat dengan perasaan masing-masing. Selama itu pula aku sakit. Selama itu pula aku selalu mencoba bertahan. Selalu.
            Lalu tiba-tiba, setelah sekian lama aku membohongi perasaanku sendiri dengan seolah-olah aku tak butuh hadirnya, suaranya datang pada suatu malam. Namanya dengan jelas muncul kembali di layar handphoneku. Permainan apalagi yang ingin dia berikan? Oh Tuhan. Seketika itu memoriku terkuak kembali. Senyumnya jelas tergambar.
            Entah perasaan ini sedih atau gembira. Yang pasti, aku begitu kecewa. Kecewa dengan diriku sendiri yang dengan gampangnya mengobral maaf, atas nama ‘hubungan’. Tapi aku tak berdaya, tipu muslihatnya yang meski berjarak ratusan kilo, tetap saja sempurna benar menguasaiku. Auranya. Sekejap seperti aura manusia biadab!
            Tetapi, selang beberapa menit ketika dia bercerita tentang apa saja yang telah terjadi tanpa sepengetahuanku, aku leleh. Sungguh sempurna leleh. Air mataku sendiri tak sanggup ku kuasai. Bulan purnama di balik mendung itu menjadi saksi kehampaanku, menjadi saksi atas pengakuan kesalahan-kesalahanku selama ini. Aku menyesal. Sungguh menyesal karena telah menuduhnya bajingan.
            Tepat pada malam ini aku tau, bahwa waktunya yang kala itu hanya tinggal sehari untuk menghabiskan ceritanya di kota kami, dia memilih memberikan sepenuhnya untukku. Dengan perasaan bersalah yang teramat mendalam, dia mendatangi kediamanku. Tapi sayang, dia hanya menemukan rumahku yang telah kosong, dan cerita tentangku yang sudah lama pergi ke kota orang.
            Kenapa? Kenapa dia melakukan itu semua tak dari dulu?
            Sungguh Tuhan. Ampuni perasaanku yang telah menuduhnya jauh di bawah rata-rata. Ampuni kemarahanku terhadapnya yang telah memutuskan untuk benar-benar melupakannya. Ampuni. Ampunilah kebodohanku. 
            Maka detik ini Tuhan, dimalam yang Kau turunkan hujan, semoga apa yang kudengar darinya tak lagi bualan dan omong kosong semata. Berkatilah keputusan kami untuk saling kembali. Cabut rasa dengki yang mengotori setiap benak kami. Sesungguhnya, kami tak pernah saling tau bagaimana isi hati kami masing-masing. Yang pasti, Engkaulah Maha Cinta  Agung yang akan menjemputkan jodoh untuk kami pada saat yang luar biasa indah :’)

Salam yang teramat bahagia, Ayu Rosidah

Aku sempat bahagia di tanggal itu, tapi sekarang.. Sungguh, rindu ini remuk kembali



Yogyakarta.. Jumat, 7 November 2014
            Terkadang, kita terlalu jauh berpikir tentang seseorang, padahal tak sedikitpun orang itu seperti apa yang kita bayangkan. Marah itu wajar. Tetapi jika perasaan marah tersebut membuat kita dengan mudahnya menjatuhkan image orang lain di pikiran kita, saya rasa, itu hal yang tak pernah pantas dilakukan. Karena pada kenyataannya, tanpa kita ketahui orang itu telah dengan senang hati jauh lebih mengorbankan dirinya dibanding kita.
            Hubungan itu bukan sekedar dibangun, timbul masalah, klimaks, anti klimaks, penyelesaian, lalu selesai. Bukan. Bukan.
            Hubungan itu adalah kuat dan tidaknya kita bertahan dalam keadaan yang sangat tak memungkinkan sekalipun.
            Sampai saat ini, aku masih saja tak pernah tau kenapa Tuhan mempertemukanku dengannya. Mempertemukan kami dalam situasi dan kondisi yang sampai saat ini sangat indah tuk dikenang tentunya. Dia. Orang yang begitu menyebalkan, tetapi Tuhan membungkusnya dalam kemasan yang  sungguh apik. Juga tak butuh waktu lama, dengan mudahnya hatiku digondol lalu dibawanya jauh entah kemana.
            Jarang sekali aku menyebut namanya secara gamblang di dalam tulisan-tulisanku. Padahal, hanya karena mengingatnyalah aku berselera menulis. Mengingat suaranya yang lembut, matanya yang teduh, dan sentuhannya yang hangat. Tapi sial. Dia pembohong!
            Semenjak aku tau semuanya, kira-kira 10 bulan yang lalu, aku begitu muak. Bahkan disepanjang siang dan malam, aku selalu mengutuki namanya. Setiap saat, kapan saja aku merengek kepada Tuhan agar Dia membalaskan sakit hatiku. Aku benci. Benci setengah mati.
            Tetapi, seiring berjalannya waktu, aku mulai melupakannya. Melupakan segala yang pernah kami lalui bersama. Melupakan semua kenangan yang sebenarnya teramat menyenangkan. Tetapi, dalam masa-masa melupakan itu sesungguhnya aku tak pernah berusaha lupa seutuhnya. Hati dan persaanku di sisi yang lain enggan menghapus kenangan-kenangan kami. Mereka memilih membungkus dengan rapi, lalu menyimpannya rapat-rapat.
            Sampai pada titik dimana segenap jiwa, hati, dan perasaanku telah menyatu untuk benar-benar melupakannya.
            Berjuang melupakan dalam waktu 10 bulan itu bukan periode yang singkat. Selama itu pula kami tak pernah saling bertegur sapa. Selama itu pula kami bergulat dengan perasaan masing-masing. Selama itu pula aku sakit. Selama itu pula aku selalu mencoba bertahan. Selalu.
            Lalu tiba-tiba, setelah sekian lama aku membohongi perasaanku sendiri dengan seolah-olah aku tak butuh hadirnya, suaranya datang pada suatu malam. Namanya dengan jelas muncul kembali di layar handphoneku. Permainan apalagi yang ingin dia berikan? Oh Tuhan. Seketika itu memoriku terkuak kembali. Senyumnya jelas tergambar.
            Entah perasaan ini sedih atau gembira. Yang pasti, aku begitu kecewa. Kecewa dengan diriku sendiri yang dengan gampangnya mengobral maaf, atas nama ‘hubungan’. Tapi aku tak berdaya, tipu muslihatnya yang meski berjarak ratusan kilo, tetap saja sempurna benar menguasaiku. Auranya. Sekejap seperti aura manusia biadab!
            Tetapi, selang beberapa menit ketika dia bercerita tentang apa saja yang telah terjadi tanpa sepengetahuanku, aku leleh. Sungguh sempurna leleh. Air mataku sendiri tak sanggup ku kuasai. Bulan purnama di balik mendung itu menjadi saksi kehampaanku, menjadi saksi atas pengakuan kesalahan-kesalahanku selama ini. Aku menyesal. Sungguh menyesal karena telah menuduhnya bajingan.
            Tepat pada malam ini aku tau, bahwa waktunya yang kala itu hanya tinggal sehari untuk menghabiskan ceritanya di kota kami, dia memilih memberikan sepenuhnya untukku. Dengan perasaan bersalah yang teramat mendalam, dia mendatangi kediamanku. Tapi sayang, dia hanya menemukan rumahku yang telah kosong, dan cerita tentangku yang sudah lama pergi ke kota orang.
            Kenapa? Kenapa dia melakukan itu semua tak dari dulu?
            Sungguh Tuhan. Ampuni perasaanku yang telah menuduhnya jauh di bawah rata-rata. Ampuni kemarahanku terhadapnya yang telah memutuskan untuk benar-benar melupakannya. Ampuni. Ampunilah kebodohanku. 
            Maka detik ini Tuhan, dimalam yang Kau turunkan hujan, semoga apa yang kudengar darinya tak lagi bualan dan omong kosong semata. Berkatilah keputusan kami untuk saling kembali. Cabut rasa dengki yang mengotori setiap benak kami. Sesungguhnya, kami tak pernah saling tau bagaimana isi hati kami masing-masing. Yang pasti, Engkaulah Maha Cinta  Agung yang akan menjemputkan jodoh untuk kami pada saat yang luar biasa indah :’)

Salam yang teramat bahagia, Ayu Rosidah