Selasa, 02 Desember 2014

Aku sempat bahagia di tanggal itu, tapi sekarang.. Sungguh, rindu ini remuk kembali



Yogyakarta.. Jumat, 7 November 2014
            Terkadang, kita terlalu jauh berpikir tentang seseorang, padahal tak sedikitpun orang itu seperti apa yang kita bayangkan. Marah itu wajar. Tetapi jika perasaan marah tersebut membuat kita dengan mudahnya menjatuhkan image orang lain di pikiran kita, saya rasa, itu hal yang tak pernah pantas dilakukan. Karena pada kenyataannya, tanpa kita ketahui orang itu telah dengan senang hati jauh lebih mengorbankan dirinya dibanding kita.
            Hubungan itu bukan sekedar dibangun, timbul masalah, klimaks, anti klimaks, penyelesaian, lalu selesai. Bukan. Bukan.
            Hubungan itu adalah kuat dan tidaknya kita bertahan dalam keadaan yang sangat tak memungkinkan sekalipun.
            Sampai saat ini, aku masih saja tak pernah tau kenapa Tuhan mempertemukanku dengannya. Mempertemukan kami dalam situasi dan kondisi yang sampai saat ini sangat indah tuk dikenang tentunya. Dia. Orang yang begitu menyebalkan, tetapi Tuhan membungkusnya dalam kemasan yang  sungguh apik. Juga tak butuh waktu lama, dengan mudahnya hatiku digondol lalu dibawanya jauh entah kemana.
            Jarang sekali aku menyebut namanya secara gamblang di dalam tulisan-tulisanku. Padahal, hanya karena mengingatnyalah aku berselera menulis. Mengingat suaranya yang lembut, matanya yang teduh, dan sentuhannya yang hangat. Tapi sial. Dia pembohong!
            Semenjak aku tau semuanya, kira-kira 10 bulan yang lalu, aku begitu muak. Bahkan disepanjang siang dan malam, aku selalu mengutuki namanya. Setiap saat, kapan saja aku merengek kepada Tuhan agar Dia membalaskan sakit hatiku. Aku benci. Benci setengah mati.
            Tetapi, seiring berjalannya waktu, aku mulai melupakannya. Melupakan segala yang pernah kami lalui bersama. Melupakan semua kenangan yang sebenarnya teramat menyenangkan. Tetapi, dalam masa-masa melupakan itu sesungguhnya aku tak pernah berusaha lupa seutuhnya. Hati dan persaanku di sisi yang lain enggan menghapus kenangan-kenangan kami. Mereka memilih membungkus dengan rapi, lalu menyimpannya rapat-rapat.
            Sampai pada titik dimana segenap jiwa, hati, dan perasaanku telah menyatu untuk benar-benar melupakannya.
            Berjuang melupakan dalam waktu 10 bulan itu bukan periode yang singkat. Selama itu pula kami tak pernah saling bertegur sapa. Selama itu pula kami bergulat dengan perasaan masing-masing. Selama itu pula aku sakit. Selama itu pula aku selalu mencoba bertahan. Selalu.
            Lalu tiba-tiba, setelah sekian lama aku membohongi perasaanku sendiri dengan seolah-olah aku tak butuh hadirnya, suaranya datang pada suatu malam. Namanya dengan jelas muncul kembali di layar handphoneku. Permainan apalagi yang ingin dia berikan? Oh Tuhan. Seketika itu memoriku terkuak kembali. Senyumnya jelas tergambar.
            Entah perasaan ini sedih atau gembira. Yang pasti, aku begitu kecewa. Kecewa dengan diriku sendiri yang dengan gampangnya mengobral maaf, atas nama ‘hubungan’. Tapi aku tak berdaya, tipu muslihatnya yang meski berjarak ratusan kilo, tetap saja sempurna benar menguasaiku. Auranya. Sekejap seperti aura manusia biadab!
            Tetapi, selang beberapa menit ketika dia bercerita tentang apa saja yang telah terjadi tanpa sepengetahuanku, aku leleh. Sungguh sempurna leleh. Air mataku sendiri tak sanggup ku kuasai. Bulan purnama di balik mendung itu menjadi saksi kehampaanku, menjadi saksi atas pengakuan kesalahan-kesalahanku selama ini. Aku menyesal. Sungguh menyesal karena telah menuduhnya bajingan.
            Tepat pada malam ini aku tau, bahwa waktunya yang kala itu hanya tinggal sehari untuk menghabiskan ceritanya di kota kami, dia memilih memberikan sepenuhnya untukku. Dengan perasaan bersalah yang teramat mendalam, dia mendatangi kediamanku. Tapi sayang, dia hanya menemukan rumahku yang telah kosong, dan cerita tentangku yang sudah lama pergi ke kota orang.
            Kenapa? Kenapa dia melakukan itu semua tak dari dulu?
            Sungguh Tuhan. Ampuni perasaanku yang telah menuduhnya jauh di bawah rata-rata. Ampuni kemarahanku terhadapnya yang telah memutuskan untuk benar-benar melupakannya. Ampuni. Ampunilah kebodohanku. 
            Maka detik ini Tuhan, dimalam yang Kau turunkan hujan, semoga apa yang kudengar darinya tak lagi bualan dan omong kosong semata. Berkatilah keputusan kami untuk saling kembali. Cabut rasa dengki yang mengotori setiap benak kami. Sesungguhnya, kami tak pernah saling tau bagaimana isi hati kami masing-masing. Yang pasti, Engkaulah Maha Cinta  Agung yang akan menjemputkan jodoh untuk kami pada saat yang luar biasa indah :’)

Salam yang teramat bahagia, Ayu Rosidah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar