Yogyakarta.. Jumat, 7 November 2014
Terkadang,
kita terlalu jauh berpikir tentang seseorang, padahal tak sedikitpun orang itu
seperti apa yang kita bayangkan. Marah itu wajar. Tetapi jika perasaan marah
tersebut membuat kita dengan mudahnya menjatuhkan image orang lain di pikiran
kita, saya rasa, itu hal yang tak pernah pantas dilakukan. Karena pada
kenyataannya, tanpa kita ketahui orang itu telah dengan senang hati jauh lebih
mengorbankan dirinya dibanding kita.
Hubungan
itu bukan sekedar dibangun, timbul masalah, klimaks, anti klimaks,
penyelesaian, lalu selesai. Bukan. Bukan.
Hubungan
itu adalah kuat dan tidaknya kita bertahan dalam keadaan yang sangat tak
memungkinkan sekalipun.
Sampai
saat ini, aku masih saja tak pernah tau kenapa Tuhan mempertemukanku dengannya.
Mempertemukan kami dalam situasi dan kondisi yang sampai saat ini sangat indah
tuk dikenang tentunya. Dia. Orang yang begitu menyebalkan, tetapi Tuhan
membungkusnya dalam kemasan yang sungguh
apik. Juga tak butuh waktu lama, dengan mudahnya hatiku digondol lalu dibawanya
jauh entah kemana.
Jarang
sekali aku menyebut namanya secara gamblang di dalam tulisan-tulisanku.
Padahal, hanya karena mengingatnyalah aku berselera menulis. Mengingat suaranya
yang lembut, matanya yang teduh, dan sentuhannya yang hangat. Tapi sial. Dia
pembohong!
Semenjak
aku tau semuanya, kira-kira 10 bulan yang lalu, aku begitu muak. Bahkan
disepanjang siang dan malam, aku selalu mengutuki namanya. Setiap saat, kapan
saja aku merengek kepada Tuhan agar Dia membalaskan sakit hatiku. Aku benci.
Benci setengah mati.
Tetapi,
seiring berjalannya waktu, aku mulai melupakannya. Melupakan segala yang pernah
kami lalui bersama. Melupakan semua kenangan yang sebenarnya teramat
menyenangkan. Tetapi, dalam masa-masa melupakan itu sesungguhnya aku tak pernah
berusaha lupa seutuhnya. Hati dan persaanku di sisi yang lain enggan menghapus
kenangan-kenangan kami. Mereka memilih membungkus dengan rapi, lalu
menyimpannya rapat-rapat.
Sampai
pada titik dimana segenap jiwa, hati, dan perasaanku telah menyatu untuk
benar-benar melupakannya.
Berjuang
melupakan dalam waktu 10 bulan itu bukan periode yang singkat. Selama itu pula
kami tak pernah saling bertegur sapa. Selama itu pula kami bergulat dengan
perasaan masing-masing. Selama itu pula aku sakit. Selama itu pula aku selalu mencoba
bertahan. Selalu.
Lalu
tiba-tiba, setelah sekian lama aku membohongi perasaanku sendiri dengan
seolah-olah aku tak butuh hadirnya, suaranya datang pada suatu malam. Namanya
dengan jelas muncul kembali di layar handphoneku. Permainan apalagi yang ingin
dia berikan? Oh Tuhan. Seketika itu memoriku terkuak kembali. Senyumnya jelas
tergambar.
Entah
perasaan ini sedih atau gembira. Yang pasti, aku begitu kecewa. Kecewa dengan
diriku sendiri yang dengan gampangnya mengobral maaf, atas nama ‘hubungan’.
Tapi aku tak berdaya, tipu muslihatnya yang meski berjarak ratusan kilo, tetap
saja sempurna benar menguasaiku. Auranya. Sekejap seperti aura manusia biadab!
Tetapi,
selang beberapa menit ketika dia bercerita tentang apa saja yang telah terjadi
tanpa sepengetahuanku, aku leleh. Sungguh sempurna leleh. Air mataku sendiri
tak sanggup ku kuasai. Bulan purnama di balik mendung itu menjadi saksi
kehampaanku, menjadi saksi atas pengakuan kesalahan-kesalahanku selama ini. Aku
menyesal. Sungguh menyesal karena telah menuduhnya bajingan.
Tepat
pada malam ini aku tau, bahwa waktunya yang kala itu hanya tinggal sehari untuk
menghabiskan ceritanya di kota kami, dia memilih memberikan sepenuhnya untukku.
Dengan perasaan bersalah yang teramat mendalam, dia mendatangi kediamanku. Tapi
sayang, dia hanya menemukan rumahku yang telah kosong, dan cerita tentangku
yang sudah lama pergi ke kota orang.
Kenapa?
Kenapa dia melakukan itu semua tak dari dulu?
Sungguh
Tuhan. Ampuni perasaanku yang telah menuduhnya jauh di bawah rata-rata. Ampuni
kemarahanku terhadapnya yang telah memutuskan untuk benar-benar melupakannya.
Ampuni. Ampunilah kebodohanku.
Maka
detik ini Tuhan, dimalam yang Kau turunkan hujan, semoga apa yang kudengar
darinya tak lagi bualan dan omong kosong semata. Berkatilah keputusan kami
untuk saling kembali. Cabut rasa dengki yang mengotori setiap benak kami.
Sesungguhnya, kami tak pernah saling tau bagaimana isi hati kami masing-masing.
Yang pasti, Engkaulah Maha Cinta Agung
yang akan menjemputkan jodoh untuk kami pada saat yang luar biasa indah :’)
Salam yang teramat bahagia, Ayu Rosidah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar